Ingatan ku terlempar jauh, menelisik kepingan memori yang masih tersimpan di kepala. Berusaha mencari potongan puzzle yang bisa membungkam pertanyaan-nya. Nihil, tak kutemukan.

Napasku tercekat kala ia mulai menceritakan sesuatu yang mungkin tak seharusnya aku tahu. Matanya memerah, menahan tangis yang sudah di ambang batas. Suaranya bergetar, terdengar begitu pilu di sela hening malam.

Malam itu, aku mengenalnya bukan lagi sebagai seseorang yang penuh tawa. Rupanya, tawa yang selalu ia sisipkan kala kami berbincang hanyalah tipu daya; sebuah riuh buatan untuk menutup rapat lukanya yang masih basah. Dan sialnya, aku sempat tertipu.

Candaan yang biasa ia lontarkan mulai tenggelam digantikan hela napas yang terdengar begitu berat. Tak terlihat lagi sorot mata tajam yang biasa ia perlihatkan. Hanya ada sendu dan ruang hampa yang tersisa.

Untuk pertama kalinya, aku mendengarnya. Suara yang selalu bergemuruh dalam hati kecilnya. Aku tersenyum getir, dalam diam aku meramalkan segala harap pada Sang Pemilik Semesta.

Tuhan, tolong teduhkan badainya.

Semoga ia lekas merasakan euforia kebahagiaan yang sudah lama tak dirasa.

Terkadang, tak semua pertanyaan punya jawaban. Biarlah ia menghilang selayaknya kabut yang pergi kala matahari menyapa.

"u deserve to be happy in your way." — he said.

— August, 2025.